Saat melihat beberapa ekor kera dilatih untuk membantu penderita quadriplegia, ingatan Carol Barre melayang ke masa kecilnya. Sejak usia empat tahun Carol menderita polio dan hari-hari dihabiskannya di tempat tidur. Carol ingat betapa tersiksanya hidup seperti itu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Latihan-latihan yang dianjurkan dari rumah sakit tak begitu bermanfaat bagi Carol. Kemampuannya tetap terbatas. Carol bahkan tak mampu meremas-remas bola karet yang disiapkan sebagai alat latihan. Karena putus asa, Carol sering dengan sengaja melempar bola karet itu keluar dari tempat tidurnya.
Suatu hari ayah Carol membawakan sebuah mainan baru. Mainan itu berbentuk boneka kera dengan sebuah genderang yang siap ditabuh. Di punggung boneka kera itu terdapat sebuah pipa kecil yang di ujungnya terdapat bola karet. Jika bola karet itu diremas, tangan boneka kera itu akan bergerak memukul genderang. Semakin kuat bola karet diremas, semakin kencang bunyi genderang. Carol sangat menyukai permainan itu. Ia berlatih meremas bola karet di boneka kera itu. Tak lama, tangan kanannya sudah bisa dengan kuat meremas bola dan menghasilkan bunyi genderang yang nyaring. Merasa berhasil, Carol terus berlatih dengan menggunakan tangan kirinya. Meskipun harus berlatih keras, akhirnya tangan kiri Carol pun bisa meremas bola karet dengan keras. Keberhasilan-keberhasilan kecil itu yang mendorong Carol tak pernah lagi putus asa menjalani latihan-latihan berikutnya.